Being Adult

 Waktu gue masih duduk di bangku sekolah dasar, ngeliat kakak gue yang saat itu SMA kemudian kuliah dan kerja, rasanya jadi dewasa itu menyenangkan sekali. Punya pacar, bisa jalan jauh, bisa nonton semua film.

Time flies, turns out menjadi dewasa ternyata tidak semenyenangkan yang gue bayangkan waktu kecil. Menjalin suatu hubungan ternyata ngga mudah, hubungan dengan pacar bisa kandas di tengah jalan, teman yang selama ini selalu kita utamakan ternyata ngga ada di saat kita terpuruk, rencana-rencana yang dibuat dengan penuh optimisme satu persatu berguguran dihempas kenyataan, dan bisa nonton semua film ternyata ya udah gitu aja, ngga spesial spesial amat.

Ketika masih anak-anak mau buru-buru dewasa supaya bisa nyoba berbagai hal, tapi ketika udah dewasa malah pengennya balik lagi ke masa anak-anak, ketika semua hal masih begitu sederhana, tidak serumit saat dewasa.

Ketika dewasa akan banyak hal-hal yang membingungkan, temen lu yang ngga pernah ibadah ternyata hidupnya lebih baik dari lu yang masih inget ibadah, orang yang ngelakuin hal jahat, tapi turns out hidupnya mulus-mulus aja, mana karma?

Pilihan-pilihan yang diperjuangkan setengah mati ternyata berbuah kekecewaan, sebaliknya, pilihan yang dijalani setengah hati malah berbuah manis. Lho kok bisa begitu?

Kita diajarkan gaboleh berjudi di agama, tapi hidup itu sendiri ternyata sebuah perjudian. Kita ambil sebuah keputusan, dan mempertaruhkan hidup kita, kalau menang kita dapat untung, tapi kalau ternyata pilihan yang kita ambil salah ya....

We never know what we gonna get in life.

And as far as I know, adult life is confusing.

Cukup lama buku karya Roanne Van Voorst yang berjudul Tempat Terbaik di Dunia ini jadi salah satu wishlist, penasaran, tapi pas tahun 2019 gue cek ternyata yang jual buku ini masih jarang banget. Di awal tahun 2020, gue cek lagi di salah satu e commerce favorit, ternyata sekarang yang jual buku ini udah lumayan banyak, dengan harga buku dibawah 100 ribu, yang mana termasuk murah.

Tapi hal itu ngga serta merta bikin gue check out ini buku, ada beberapa alasan, diantaranya masih ada beberapa buku yang belum gue selesaikan, gue yang sedang berusaha mengurangi pembelian buku fisik dan beralih ke ebook, dan yang tidak kalah pentingnya adalah, gue nunggu ada event yang menjadikan buku ini didiskon (hehe)

Tapi akhirnya gue beli juga buku ini, nunggu ebook gatau kapan, diskonan pun ngga ada (mungkin karena sudah tergolong murah), nunggu buku lain selesai dibaca kelamaan.
Gue penasaran dan tertarik sama buku ini karena liat sampulnya, dengan tagline "Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta" tapi judul bukunya Tempat Terbaik di Dunia? Jadi tempat terbaik di dunia menurut penulis (Roanne) adalah di tempat kumuh? Kenapa bisa dibilang begitu? 

Latar belakang penulis juga menarik perhatian, Roanne Van Voorst adalah seorang antropolog Belanda melakukan penelitian di salah satu kawasan kumuh di Jakarta, yang artinya Roanne adalah orang berpendidikan dan juga berasal dari salah satu negara yang tingkat kesejahteraannya diatas Indonesia, tapi dia bilang sebuah kawasan kumuh di Jakarta adalah tempat terbaik di dunia? How can? dari sudut pandang apa?

Untuk jawab pertanyaan itu satu-satunya cara ya baca buku ini. Menurut gue bukunya asik, ga bikin bosen, soalnya gue selesai baca buku ini cepet. Hehe, disaat makin bertambahnya umur, makin bertambah pula kesibukan, jadi bisa selesaikan membaca buku dalam waktu tidak lama itu suatu kemewahan sih.

So, happy reading guys!!

Meaning Of Life

Next year, I will be 26 years old. 

Berada diantara umur 20 dan 30an ini emang bikin insecure ga sih? Buka instagram, teman-teman pada posting sama pasangannya, sama anaknya, sama keluarga barunya, buka twitter orang-orang pada pamer gaji 2 digitnya, buka facebook liat foto-foto masa lalu jadi kangen, pengen balik lagi, syukur-syukur bisa memperbaiki keadaan di masa lalu, tapi kalau gabisa, ya gapapa lah balik aja. Things seems easier that moment.

Kalau di umur gue saat ini, 25 tahun, gue lagi sering-seringnya mikir, apasih arti kehidupan? Hal-hal yang dulu gue anggap penting sampai dikejar sebegitu ambisnya, ternyata sekarang ngga jadi apa-apa. Orang-orang yang dulu jadi bagian penting hidup kita, sekarang jadi asing. It's confusing actually. Rasanya mau uninstal semua social media, tapi butuh juga.

Kalau aja....

Hampir selalu muncul kata "kalau aja". Kalau aja dulu gue bisa lebih...., kalau aja dulu gue pilih jurusan kuliah..., kalau aja dulu gue ngga ambil...

Did I need professional help? It's getting difficult to find someone for sharing at this age, sudah punya kesibukan dengan keluarganya, pekerjaannya, atau ya sibuk aja sama diri sendiri. Menurut gue, gue bukan pendengan yang buruk, ya walaupun ngga bisa dibilang yang terbaik juga. Tapi gue tau etika, when people talk, listen to them, sampai selesai, baru ngomong.

That simple, isnt it? Tapi kenyataannya, gue coba buka diri, ketemu teman, I listen their story, didnt interrupt them, tapi ketika gue mulai ngomong, ngga lama mereka ngomong tentang mereka lagi. Sesulit itu menemukan orang yang bisa diajak sharing. 

Jadi ngga fokus ya tulisannya, judulnya apa, yang dibahas apa. I dont know why I came here too, its been a long time since I write here, but I think writing helps.


NB: to my sister, you didnt need to tell me that I'm ugly, I know it, your sister didnt even have boyfriend or a lot of friends at her age, did you think she didnt realized that she ugly?

Book Review: Filosofi Teras (Henry Manampiring)

Self improvement, salah satu genre buku, atau dalam bahasa Indonesia "Pengembangan diri". Gue inget buku bergenre pengembangan diri yang gue baca pertama kali itu Chicken Soup For Teenage Soul. Inget karena setelah baca itu gue jadi semangat banget, semangat untuk praktekin apa yang dibilang buku itu di dunia gue, seakan akan semua masalah hidup yang gue hadapi bisa teratasi kalau gue menerapkan tips-tips yang ada di buku itu.
Tapi ternyata hidup tidak semudah apa yang dibilang di buku itu, masalah ngga begitu saja hilang setelah kita melakukan tips yang ada di buku, malah terkadang karena terlanjur menaruh harapan tinggi, kita jadi kecewa ketika hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Kegagalan penerapan tips yang ada di buku Chicken Soup For Teenage Soul ngga begitu saja bikin gue trauma untuk baca buku bergenre pengembangan diri, The Secret, Communication That Works, What I Wish I Knew At 18, dan masih ada lagi buku-buku pengembangan diri yang gue baca dengan tujuan meningkatkan kualitas diri gue.
Tapi lagi-lagi, ngga segampang itu ternyata, gue yang ngga pede an kalau harus ngomong di depan umum ini ternyata ngga begitu saja lancar setelah baca Communication That Works, atau gue ngga bisa mengubah kebiasaan gue begitu saja dengan berpikir positif seperti yang ada di The Secret. 
Setelah beberapa buku itu gue jadi males baca buku perkembangan diri, sempat pesimis juga ketika ada temen baca buku pengembangan diri dan bilang buku itu bagus. Like "yea, it's not that easy dude"
Cukup lama merasa pesimis sama buku pengembangan diri, dari masih kuliah sampe udah kerja beberapa tahun.
Kemudian... di 2020, tertarik untuk baca Filosofi Teras. Buku ini sebenernya udah terbit dari 2019, dan gue pun udah lama berniat untuk baca buku ini, tapi ya itu tadi, maju mundur karena ini buku pengembangan diri.
Dari judulnya udah bikin penasaran sih, kok filosofi teras, teras kan ubin, emang apa yang mau diteladani dari ubin? Belum lagi tagline buku ini "Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini" jadi gimana? mental tangguh masa kini tapi pake metode zaman yunani-romawi? Metode baru yang mutakhir aja belum tentu bisa buat mental tangguh, ini metode zaman kapan tau.
Belinya pun ngga terencana sebetulnya, gue yang saat itu diminta teman untuk nemenin dia beli buku tau-tau aja ngambil buku itu. Huwaw....
Kalau dari segi ukuran, buku ini termasuk berukuran kecil dibanding buku-buku yang gue punya dirumah, dan fontnya juga lebih kecil, untuk orangtua yang matanya mulai susah ngeliat dekat mungkin kesel ya sama font yang kecil ini.
Yang membedakan buku Filosofi Teras dengan buku pengembangan diri yang lain adalah buku ini ngga menuntut kita harus ini  itu supaya kita bisa lebih pede, lebih kuat, lebih kaya (?). Justru di buku ini kaya dikasih pemakluman sama apa yang ngga dapat kita raih, bahwa ada hal yang dapat kita kontrol dan ada yang tidak, dan hal yang gabisa di kontrol itu ya gabisa diapa apain, mau misuh-misuh pun cuma akan membuat keadaan lebih buruk, lebih baik kita alihkan energi untuk hal-hal yang masih ada dalam kendali, yang masih kita kontrol. 
Ngga cuma itu, ada yang lain lagi, tapi untuk saat ini, yang paling gue inget dan juga paling berguna ya yang tadi itu.
So, is it worth to read? Yes, its worth to read, tapi seperti biasa, efek yang dapat dirasa ya kembali lagi ke individu masing-masing. Apakah mereka mau untuk konsisten menerapkan apa yang ada di buku ini dalam kehidupan mereka?

Manusia Serba Bisa

Pernah nonton Yes Man? Film keluaran tahun 2008, pemeran utamanya Jim Carrey. Bukan termasuk film favorit gue sih, tapi harus gue akui film ini sangat menghibur dan membekas di ingatan, karena ada beberapa film yang gue ngga inget, kaya samar-samar gitu, "ya gue tau nih filmnya, tapi apa ya judulnya?"

Tapi yes man ini ngga, ceritanya juga unik, pemeran utama yang awalnya orang yang pesimis sampe orang sekelilingnya kesel, lalu ikut sebuah seminar dimana dalam seminar itu dia melakukan sebuah perjanjian, dan perjanjiannya itu mengubah hidupnya.

In real life, kita pasti ketemu dua jenis orang ini, yah, ngga se ekstrim di film itu sih, dimana dia harus bilang "iya" sama apapun. Tapi ya, di kehidupan nyata ada aja orang yang kelihatan serba bisa. I admire this kind of person, rasanya kalau sekelompok atau ada urusan sama dia tuh ada aja jalan keluarnya, orang kaya gini kalau ada tugas kelompok gabakal dapet kelompok ampas, you know, kelompok sisaan yang anggotanya anak-anak yang kelompok lain gamau nerima, kelompok lain udah penuh sementara mereka belum dapat kelompok, jadilah mereka sekelompok, dipersatukan oleh takdir. 

Manusia serba bisa ngga akan ngalamin itu, karena ketika guru bilang "ini tugasnya dikerjakan berkelompok ya", teman-teman nya pasti langsung ngelirik dia, berlomba-lomba untuk bisa sekelompok sama si manusia serba bisa.

Kebalikan dari manusia serba bisa, ada si manusia serba gabisa. Kalau manusia serba bisa selalu dapat melihat jalan keluar dari suatu masalah, manusia serba gabisa justru selalu melihat kesulitan dari segala hal, kaya ada aja gitu alasan untuk ngga melakukan sesuatu, bahkan dari hal-hal mudah kaya cuci piringnya dia sendiri sehabis makan, nemu aja alasan supaya dia ngga ngelakuin itu.

If you ask me, what kind of person I am? Sejujurnya semakin tua, semakin gue ngerasa kecewa sama diri gue, kalau di film yes man si pemeran utama mengalami perubahan dari si pesimis ke si optimis, kalau gue malah kayanya berubah dari manusia serba bisa ke manusia serba gabisa.

Gue pernah mengalami diperebutkan dalam pembentukan kelompok, ada teman yang biasanya ngga deket tiba-tiba ngedeketin karena mau sesuatu dari gue, tapi makin kesini gue ngerasa diri gue berubah dan perubahannya bukan perubahan yang baik, dari gue dapet kelompok ampas pas sekolah, lalu gue yang nemu aja sisi negatif dari suatu hal. And you know what? Its tiring, melelahkan sekali, selalu merasa ketakutan, khawatir akan hal-hal yang belum tentu kejadian.

Tapi karakter seseorang itu kan ngga begitu saja muncul tiba-tiba, pasti ada variabel-variabel yang menyebabkan seseorang mempunyai karakter tertentu, entah itu dari keluarga atau lingkungan sehingga akhirnya membentuk karakter orang ini. The question is,can someone change without those variabel, bisa ngga ya seseorang itu berubah tanpa ada pihak ketiga yang mendorong dia untuk berubah? berubah hanya karena dirinya sendiri yang ingin melakukan perubahan.

So, tell me, can I?

Jangan ngomongin keburukan orang

We have to admit kalau ngga semua kejadian di masa kecil bisa kita ingat dengan baik, beberapa diingat dengan baik, beberapa ingat tapi samar-samar, beberapa lagi lupa.

Beberapa kejadian masa kecil yang masih gue ingat diantaranya waktu nyokap bawa gue piknik sama teman kerjanya, bus berhenti di suatu tempat (toko souvenir atau pom bensin), gue sama nyokap masih di bus, gue kira semua orang udah turun, tinggal kita berdua. Saat itu gue bilang ke nyokap tentang anaknya temen nyokap yang seumuran sama gue tapi belum bisa baca, ngga berapa lama, dari belakang bus jalan temen nyokap gue a.k.a orang yang anaknya gue omongin.

Jadi ternyata dia belum turun dari bus, tiduran di belakang makanya ngga kelihatan kepalanya, dia sih cuma jalan aja ke pintu keluar ga bilang apa-apa, gue gatau dia denger apa ngga, tapi kejadian itu cukup menghantui gue.

Kejadian berikutnya ketika kakak gue kedatangan temannya, gue masih sd kelas 1 atau kelas 2 gitu gue lupa, yang jelas jarang banget emang kakak gue bawa teman kerumah. Gue senang, karena menurut gue saat itu temen kakak gue ini baik, mau aja ngeladenin gue, sampe gue denger si temen ini bisik-bisik ke kakak gue "adek lu kok bandel banget sih" yang dijawab kakak gue "ya maklum lah namanya anak-anak"

It broke my heart, kirain teman kakak gue ini seneng-seneng aja gitu, ternyata ngga. Pada saat itu rasanya sedih aja gitu.

Dari dua kejadian itu, emang bisa dilihat kalau ngga ada bagusnya ngomongin keburukan orang. Kenapa?

1. Menyakiti perasaan mereka

Ya itu kan kalo mereka tau. The question is, apakah ketika lu ngomongin keburukan orang lu yakin orang yg lu ajak ngobrol ngga bakal bocor ke orang yg lu omongin? Can you imagine how their feelings when they know about it?

2. Membuat jelek image yang sudah dibangun

Few days ago, gue hampir banget ngomongin kejelekan seseorang, I thought the person wasn't there, tapi gajadi karena gue tiba-tiba mager ngomong. wkwk.

Yaudah gue lanjutin kegiatan dengan ngecek hp, dan ngga berapa lama, ternyata orang yang tadinya pengen gue omongin  tau-tau muncul doooong. Jadi kan emang ruangan ini dibagi dua sama lemari, dibatesin lemari gitu, nah gue lagi duduk di sisi kiri, dan si orang ini ternyata di sisi kanan doooong, gue kira dia keluar. Kebayang gasih kalo tadi gue jadi ngomongin dia? Gileeee, kemageranku menyelamatkanku.

3. Dosa

Yeah, what else? Gue sih yakin semua agama mengajarkan kebaikan dan ngomongin keburukan orang tidak termasuk dalam kategori kebaikan.

So thats it, another reminder for me, for us.
"Saya tuh paling gamau kalo ada orang nanya saya, terus saya bilangnya gatau atau gabisa, kesannya kok saya bodoh banget gitu"

Beberapa minggu lalu teman kerja gue ngomong begitu, gue lupa sih kita pada saat itu lagi bahas apa, tapi gue inget banget dia ngomong itu, it explain lot of things, kaya...

"si itu mah gimana ngga keteteran, orang kalo dikasih tugas dia gapernah sharing-sharing atau nanya pendapat, nanti mah dia ngeluh sendiri karena dikasih tugas banyak, padahal kan dia bisa minta bantuan kita biar tugasnya dibagi bagi"

"ah kerjasama sama dia mah gaenak Han, orangnya suka seenaknya aja, terlalu kreatif, orang lagi ngerjain apa, dia mah gamau gabung, eh tau-tau yang dia kerjain salah"

Dua kalimat diatas adalah perkataan teman kerja gue yang lain, pendapat mereka tentang si temen kerja gue yang ngomong kalimat paling pertama tadi, yang gamau bilang gatau atau gabisa.

I've told you it explain lot of things, dia gamau minta bantuan karena dia gamau bilang gabisa, akhirnya keteteran sendiri, dia suka seenaknya bersikap karena dia mau dianggap pinter, menurut dia apa yang dia lakuin itu yang paling baik, jadi ya dia berinisiatif sendiri, dia butuh pengakuan dari orang-orang disekitarnya kalau dia bisa, kalau dia yang terbaik, gaada yang sama kaya dia.

Kebalikannya dari si gamau bilang gatau atau gabisa ini, waktu kuliah, gue punya dosen, profesor, kuliah S1 dan S2 dua kali, jurusan yang berbeda, jurnal dan bukunya dimana-mana. Dosen ini kalau ngajar sering mengeluarkan kata-kata "eh itu tentang kebijakan ini gimana sih penerapannya dilapangan?, bapak kan ngga berkecimpung langsung disitu, jadi gatau kalo di lapangan kerjanya gimana, coba dong kalian jelasin ke bapak"

Lalu kita mahasiswanya pun menjelaskan terkait peraturan yang dibilang bapak dosen tadi, dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain, saling menambahkan, diskusi berlangsung aktif.

Beberapa waktu kemudian gue pun tau kalo si bapak dosen itu ternyata turut andil dalam tercetusnya kebijakan yang dia bilang dia gatau di kelas, dia menulis beberapa jurnal juga tentang kebijakan itu, dan dia juga terjun langsung ke lapangan.

And I was like "wow, padahal pas dia bilang gatau, gue sempat percaya dan beranggapan masa dosen, profesor pula, gatau sih masalah ini"

Tapi kemudian gue menemukan jawabannya, bapak dosen ini berpura-pura gatau karena dia ingin kelas aktif, dia ingin tau sudut pandang mahasiswanya atau sejauh mana sih pengetahuan mahasiswa gue tentang kebijakan ini.

Kebayang ngga kalo di awal beliau bilang "saya turut andil loh dalam kebijakan tersebut", mahasiswa pasti takut untuk mengeluarkan pendapat, mikirnya "duh kalo jawaban gue salah gimana? si bapak pasti ngerti banget lah tentang kebijakan itu"

Akhirnya mahasiswa takut untuk mengemukakan pendapatnya, ruang diskusi tidak terbuka lebar, bapak dosen jadi gatau sejauh mana pengatahuan mahasiswanya, atau pendapat mahasiswanya terkait kebijakan yang dia turut andil di dalamnya, jadinya gabisa melakukan evaluasi deh tentang kebijakan tersebut.

Dari dua kasus itu, ada 2 jenis manusia si pintar yang tau segalanya, dan si bodoh yang gatau apa-apa. 

Ya, sebagai guru memang rasanya terlalu sempit untuk mengklasifikasi, untuk membedakan manusia dengan hanya 2 kategori tersebut, si pintar dan si bodoh, tapi sekali lagi, kita hanya berbicara dari 2 kasus itu.

Dan dari dua kasus itu kebayang kan kalau kita lebih memilih untuk jadi si pintar yang tau segalanya "gue bisa semuanya, gaada yang gue gatau, gue ga butuh kerjasama lu". Dengan bersikap kaya gitu, pastinya orang jadi takut dan malah untuk berkomentar, jadinya malah menutup informasi yang sebenernya bisa kita dapat, yang bisa nambah pengetahuan kita.

Sementara si bodoh yang gatau apa-apa, bisa lebih tau banyak informasi, karena dia terbuka dengan pendapat lain, tidak merasa dirinya paling pintar, "I dont know and I wanna know, can you tell me?"
mungkin kalimat itu yang jadi kalimat andalan, bersikap seolah kita gatau apa-apa, bahwa orang lain lebih tau dari dia, dan orang pasti seneng kan dibilang pintar, dibilang lebih tau, akhirnya, pengetahuan dia bertambah karena dapat informasi baru.

Tapi ya karena ini hidup, rasanya gabisa untuk menempatkan satu teori kedalam semua aspek kehidupan. Ada kalanya kita jadi si bodoh yang gatau informasi apa-apa, ada kalanya juga kita jadi si pintar supaya ngga terlalu direndahkan sama orang.

Privilege

Ketika gue SMP, gue pernah terlambat masuk sekolah, terlambatnya ngga lama, ketika bel bunyi, gue udah dikit lagi sampe gerbang. Di depan gue ada temen sekelas, perempuan 2 orang, sama-sama terlambat, jarak kita ngga beda jauh kok, sama-sama belum sampai gerbang ketika bel berbunyi. Bedanya, mereka dibolehin masuk sama satpam sekolah, gue ngga, padahal gue udah protes "kenapa mereka boleh masuk, sedangkan saya ngga? kan sama-sama terlambat." jawaban si satpam "pokoknya ga boleh"

Ketika gue SMA, musim hujan itu musim yang paling ngeselin, jalanan jadi licin, buat daerah sekolah gue yang langganan dilalui truk-truk besar, jalanan licin itu ngeri banget, kepeleset dikit bisa masuk kolong truk, belum lagi harus pake jas ujan, jas ujan juga kadang masih suka ngerembes, pokoknya kudu persiapan lebih lama kalo mau naik motor disaat ujan. 

Sebelum naik motor ke sekolah, gue ke sekolah naik angkutan umum. Musim ujan angkutan umum biasanya becek, suka ada atap yang bocor, ada bangku kosong, tapi ngga ditempatin karena diatasnya bocor, turun angkot jalanan becek, gue pernah mau jalan ke sekolah setelah turun dari angkot pas lagi ujan, genangan air dimana-mana sampai nutup jalan, kakak kelas yang jalan di depan gue tiba-tiba nyusruk, dia nginjek sekolan ternyata, ngga parah sih jatohnya, tapi tetep rok dia basah dan malu tentunya. 

Sementara itu bagi beberapa teman SMA gue, musim hujan ngga ngefek apa-apa, bahkan mungkin bisa jadi ajang pamer karena mereka bisa bawa mobil ke sekolah. It's really happening though, ketika gue khawatir sama temen gue karena musim hujan karena takut dia kuyup keujanan dijalan, tapi ternyata dia bawa mobil, pantesan ini bocah kaga ada lepek-lepek air ujannya.

Yang satu karena cantik, yang satu lagi karena punya uang, dua hal yang dapat memudahkan hidup dan sayangnya gue gapunya.

Orang-orang nyebutnya privilege. Cantik dari lahir, dilahirkan di keluarga kaya, ya betul juga sih kalo disebutnya privilege, hak istimewa, istimewa karena ngga semua orang bisa dapetin itu, dan didapatnya pun otomatis, ngga harus bersusah payah berjuang dari nol.

Ah, tentang privilege ini, banyak sebenernya cerita gue, dan karena gue bukan dari kalangan yang dapet privilege itu jadi cerita gue kebanyakan yang pait-pait, dan kurang nyaman diceritain.

So....
See you next time, stay alive!

Inikah Rasanya Berada di Quarter Life Crisis?

Quarter itu seperempat, quarter life (dari beberapa sumber yang gue baca) yaitu umur-umur 20an awal, tengah, dan akhir. Quarter life crisis, menurut idntimes  adalah masa di mana seseorang yang berusia 25 tahunan mempertanyakan hidupnya. Di masa yang merupakan puncak kedewasaan seseorang ini, orang mulai meninjau kembali masa lalunya, apa yang telah ia lakukan, apa yang ia dapatkan, dan bagaimana kehidupannya di masa datang.(https://www.idntimes.com/life/inspiration/vita/9-tanda-quarter-life-crisis/full)

Tahun 2020 ini umur gue 25, masuk ke quarter life, so how it feels like to be 25?

Bingung, umur 25 tuh buat gue banyak ngebingunginnya. Bingung hidup ini mau dibawa kemana, bingung apa sih arti hidup itu, bingung nentuin pilihan karena banyaknya masukan yang kita dapet, sering juga bingung sama diri sendiri, mau dengerin kata sendiri atau mau nurutin kata orang lain?

Dikala umur gue belom 20, saat awal awal kuliah, gue pernah bilang ke temen gue kalo gue bakal nikah di umur 23, respon mereka "waw, apa ngga kecepetan, kayanya gue paling cepet 25, mungkin malah 27".

And now i'm 25, and look what happen,gue belom nikah (calon belum ada, mental pun belum siap), sementara temen gue yang bilang paling cepet nikah umur 25 malah nikah di umur 24, yang dibilang bakal nikah duluan jadi belakangan, yang dibilang belakangan jadi duluan.

Di umur 25 gue menyadari kalau hidup itu penuh ketidakpastian, dan ke iri an akan hidup teman disekitarmu. Wkwk.

Iya, jadinya serba ngebingungin, lu tau nih kalo beberapa rencana yang lu buat ngga terwujud, hal ini ngebuat lu jadi kecewa tentunya, tapi dari situ lu juga belajar kalau thats life, emang ngga semua hal dalam hidup akan sesuai dengan apa yang kita mau, kita udah belajar ikhlas, to life a little, tapi kemudian lu buka sosial media, instagram, facebook, twitter, bahkan whatsapp yang dulu fungsinya cuma untuk chat sekarang ada fitur update status. Ketika lu buka sosial media ternyata temen-temen lu menunjukkan pencapaian mereka, hal yang jadi rencana lu beberapa tahun kebelakang, bikin lu insecure "mereka bisa, kok gue ngga". 

Tentang menikah apalagi, pernah ada yang ngomong "nunggu apa lagi sih? pekerjaan udah mapan, umur udah mateng"

Jawaban gue pada saat dibilang begitu cuma "hehe, doain aja bu", padahal dalam hati "waduh, nunggu mental saya siap bu"

Marriage is a hardwork, pekerjaan berat, makanya harus dijalani dengan partner yang tepat, nyari yang tepatnya gimana? Karena hidup penuh ketidakpastian jadi ya cari partner yang tepat pun tidak ada rumusnya. Manusia itu makhluk paling rumit, kalau hanya menilai seseorang dari beberapa indikator ya gabisa lah.

Mau keras ke diri sendiri kok kasian, hidup udah keras, keras pula ke diri sendiri, tapi ngga dikerasin nanti jadi manja, ngga maju-maju. Mau santai nikmatin hidup apa mau jadi orang ambisius?

Temen gue barusan heran ketika gue bilang lagi bingung, tapi gatau bingungin apa. Ya abis, emang kenyataannya begitu kok


Untuk Aku DIkala Itu

Jadi ada sebuah postingan twitter, gambar kaya gini sih kurang lebih, udah lumayan lama itu postingannya, jadi tadi pas nyari lagi gambarnya udah gaada, kalau disitu, pil birunya bisa membawa kita ke umur 10 tahun dengan ingatan yang kita punya sekarang.

Ada yang milih pil biru karena it's gonna be awesome gasih? bisa kembali ke umur 10 tahun dengan ingatan yang kita punya sekarang, tau apa yang harus diperbuat, intinya sih, memperbaiki masa lalu.

Ada yang pilih pil merah, dengan alasan terlalu capek untuk ngejalanin masa lalu lagi, dan kalaupun kembali lagi, belum tentu di umur 45 tahun bisa punya uang miliaran dolar.

Kalo gue? Gue lebih milih pil biru sih, karena kayanya banyak hal-hal yang gue lewatkan di masa itu. Huhu. But, since life doesnt work that way, gue akan ngasih nasehat ke gue di umur anak sekolah itu, nasehat apa?

1.Mereka emang anak keren, tapi gausah mencoba terlalu keras untuk diterima disana.

Ada kesalahan fatal gue di masa sekolah dulu, yaitu gue suka berusaha keras untuk diterima dalam sebuah lingkup pertemanan, pokoknya mencoba segala hal supaya dianggap sama mereka. Ngga sampe ngelakuin hal ekstrim sih, paling ngikutin mereka kemana mereka pergi, ikut nimbrung obrolan mereka, pada akhirnya, apakah gue dianggap sebagai salah satu anggota geng mereka? ngga, yang ada capek, karena ngga pernah dianggap. Bayangin deh, lu mencoba nimbrung obrolan mereka, tapi pendapat lu ngga dianggap, bahkan kalau lu ada, mereka ngomongnya bisik-bisik. Just dont do that Han.

2. Idealismu itu bikin kamu gapunya temen

Belajar dari pengalaman berusaha masuk ke lingkup pertemanan yang berujung mengecewakan sebelumnya, gue pun berhenti berusaha untuk diterima di suatu circle atau geng lah nama keren pada masa itu. Gue jadi orang yang sebodo amatan, bahkan kalau gue udah gasuka sama orang, gue gamau sekelompok belajar sama dia, walaupun udah diajak buat join kelompok mereka. It's soooooo wrong Han, kalau saja waktu itu kamu mengiyakan ajakan mereka untuk sekelompok atau bahkan main bareng, mungkin masa-masa itu bisa lebih berwarna, ngga hanya dihabiskan dengan sekolah-pulang, sekolah-pulang. Ah those memories.

3. Kamu khawatir mulu kenapa sih?

Worries takes you nowhere. Ketika lu khawatir dengan apa yang terjadi besok, banyak momen yang terlewat di hari itu, ujung-ujungnya apa yang kamu khawatirin akan datang juga, ngga bisa dihindari, tapi akan berlalu juga dengan sendirinya, dan kamu ngga dapet apa-apa. At least do something, enjoy the moment, than worrying over lots of things.

4. Kamu bisa ambil pelajaran dari mana aja, termasuk dari orang yang kamu gasuka

Makin dewasa gue rasa, kita lebih toleran dalam hal pertemanan, errrr, gimana yak, gue juga bingung sih sebenernya ngomongin hal ini. Contohnya, di zaman sekolah, orang yang tetap berteman dengan orang yang ngga dia suka dicap sebagai orang yang munafik, tapi ketika dewasa, kita bisa-bisa aja gasuka sama orang, tapi tetep temen temenan sama mereka, apakah itu munafik? ngga juga. Kenapa?
Makin dewasa kita makin sadar kalau setiap orang punya kekurangan dan kelebihan, kita gabisa ngejauhin atau menilai seseorang hanya dari satu kekurangan dia, every people have their own experience, dan kita bisa ambil pelajaran dari apa yang mereka alami. It's totally fine.

5. Listen, because people love to talk

Ngga ada orang yang gasuka ngomong, mau mereka mencap diri mereka introvert, it wont change those thing.
Semua orang suka berbicara, ngobrol ngalor ngidul, kalau sampai dia jadi orang yang pendiem ketika deket sama lu, itu artinya dia belom percaya sama lu. All you have to do is listen to them, kalo orang udah mulai cerita masalah pribadinya kaya keluarga, diri mereka gimana, artinya lu udah jadi orang yang mereka percaya, nantinya akan banyak info yang lu dapet.

Ya begitulah secara garis besar, kalau di masa remaja gue tau hal itu mungkin gue akan jadi...
ya gatau juga sih jadi apaan, tapi paling ngga jadi lebih bisa menikmati hidup kali ya.

A Reminder

It has been a long time since I post something here doesn't it? Kalo gasalah tahun 2018 terakhir posting, padahal di 2019 awal sempet kepikiran buat ngeblog setiap hari, nulis semacam diary gitu, ya apalah daya, jangankan tiap hari, sebulan sekali aja susah.

Well, two years is a long time untuk ngga nulis blog sih emang. Emang kemana aja?

Banyak, kemana mana, sibuk, pusing, yang jelas, dari terakhir nulis blog emang banyak yang terjadi di hidup gue, yang baik dan buruk. Tapi di postingan ini lagi mau cerita dunia kerja dulu.

Btw, gue bikin blog ini dari SMA atau kuliah ya gue lupa, yang gue inget sih gue udah mulai ngeblog dari SMA, tapi gue lupa apakah sejak awal ngeblog gue pakai alamat blog ini atau bukan, tapi kalau dilihat lihat, ada perbedaan yang lumayan mencolok, seperti pemakaian gambar, dulu tuh gue seneng naro naro gambar di postingan, tapi sekarang males, udah gitu sekarang ini blog kaya cuma tempat curhat kalo ada masalah doang, should I put more pictures again?

Okay, back to topic. Dunia kerja.

Di awal lulus kuliah gue sempet bingung, gue ini orangnya pasif, pengalaman gue tentang dunia kerja tuh minim banget, bisa ga ya gue dapet kerja.

Bingung, takut, itu perasaan yang muncul setelah euforia senang wisudaan hilang. Gue lumayan aktif di organisasi kampus, bukan mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), masalahnya, organisasi yang gue ikutin ngga sesuai dengan jurusan kuliah, yang menunjang paling ya cara bersosialisasinya, selebihnya, no.

Makanya waktu dapet tawaran kerja, gue iyain, walaupun gaji ngga seberapa (umr pun ngga), dan kerjaannya agak melenceng dari jurusan kuliah, tapi yaudahlah, itung itung belajar. Akhirnya guepun kerja.

Everything was good, mereka memahami gue anak baru, ya walaupun ketika masuk udah ada kelompok-kelompok tertentu, tapi ya it's okay, gue yang dari zaman sekolah udah terbiasa ngga gabung kelompok udah terbiasa, apalagi gue emang males basa basi, walaupun ternyata basi-basi itu perlu juga.

Semuanya oke oke aja, sampe suatu hari.....

"KAMU INI GIMANA SIH! BODOH KAMU YA" (menyodorkan kertas)
"hah? gimana bu?" (memalingkan muka dari pekerjaan, merasa kaget)
"MASA NILAI ANAK SAYA DAPET SEGINI" (masih emosi)
"lah itu bukan saya yang nilai bu" (mencoba membela diri)
"'YA TAPI KAN KAMU KOORDINATORNYA" (masih emosi)
"iya, tapi coba ibu liat itu nama siapa yang nilai, bukan saya" (masih membela diri)
"SAYA GAMAU TAU, POKOKNYA HARUS DIUBAH INI NILAINYA"
"iya bu"

Di awal kerja gue dibentak bentak. Gila, gaabis pikir, karena cara negurnya itu loh, kenapa harus kaya gitu, di kantor, tanpa gue ada kesempatan untuk membela diri. Iya saya salah disitu, tapi kan bisa diomongin baik-baik, kenapa harus begitu sih.

Ditegur kaya gitu sama senior yang beberapa tahun lagi pensiun,apa ada yang membela?

Ngga.

Abis ditegur begitu sih pada ngomong "kok begitu ya negurnya, dia kan masih anak baru, masa begitu"

Tapi ya udah itumah omongan dia di belakang setelah gue didamprat kaya gitu, ngga pas kejadian mereka membela gue.

Gue keluar kantor, diluar gue nangis. Gila ya dunia kerja, bener-bener lu gabisa ngandelin orang lain. You have to stand by your own foot.

Tahun 2020, awal maret
"YA KASIAN DONG ANAK-ANAKNYA, BELAJAR PSIKOLOGI GA?"
"ya iya bu, tapi ya gimana, ini jadwalnya emang mepet"
"YA KAMU BELAJAR PSIKOLOGI GA? MUMET MEREKA KALAU BEGITU"
"ya saya juga bingung bu gimana lagi"

Yes, its happening again, orang yang berbeda, walaupun kalau dari umur bedanya ga jauh sama yang pernah damprat gue sebelumnya, but this time i'm not crying, tapi ya tetep sih keheranan gue masih sama, mereka senior yang umurnya tuh harusnya lebih wise, yang harusnya bisa mengayomi, bijak, bukan men judge tanpa mendengar penjelasan, kami junior kalian butuh masukan, sharing untuk ketemu solusi terbaik, sangat butuh masukan dari yang mempunyai pengalaman lebih, tapi gimana caranya kalau kalian langsung menilai tanpa mendengar penjelasan dulu.

Ah, susah kalau harus mengubah karakter orang lain, postingan ini dibuat sebagai reminder, pengingat untuk diri sendiri kalau 5, 10, 15, dan tahun-tahun mendatang agar dapat menjadi rekan sejawat, senior, pemimpin yang mau mendengar, mengayomi, dan memberi masukan atau pendapat dengan bijak, tanpa menjatuhkan.