Jadi wali kelas

It has been a long time since my last post doesnt it? Terakhir nulis di blog ini 2021, artinya di tahun 2022, setahun full ngga nulis di blog.

Sebetulnya bukan ngga mau nulis, ada banyak cerita yang mau disharing disini, cuma waktunya ngga sempet, marriage life kinda confusing and it takes time to getting used to it.

Perjalanan gue sebagai wali kelas dimulai di tahun ajaran 2018/2019. Lulus kuliah di tahun 2016, yang awalnya jadi guru private, lalu ngajar di bimbel, jadi guru bahasa inggris untuk kelas 1,2, dan 3 sd, hingga akhirnya lolos CPNS dan bisa megang kelas sendiri.

Di tahun ajaran 2018/2019, gue megang kelas 1. Kelas 1b, tapi gue megang kelas ini dari semester 2 karena memang pengumuman CPNS keluarnya di pertengahan semester. Kebetulan juga guru kelas 1 yang awalnya memegang kelas ini lolos CPNS juga, tapi guru sebelumnya keterima di Bandung, jadilah gue menggantikan ybs sebagai wali kelas.

2019-2020 gue jadi wali kelas untuk kelas 6. Kelas 6C. Kalau tahun ajaran sebelumnya gue ngajar dari semester 2, di kelas 6C ini gue justru merasakan full ngajar hanya di semester 1, karena di semester 2 sekolah mulai pjj karena covid. Walaupun tetap mengajar via online, tapi rasanya beda dengan ngajar secara langsung.

Tahun ajaran 2020-2021 lagi-lagi jadi wali kelas untuk kelas 6. Kelas 6D. Kali ini satu tahun ajaran penuh, gue ngajar  anak-anak dengan metode pjj. Metode pjj ini bisa membantu sekali ketika ada pandemi seperti covid, dengan catatan peralatan yang dimiliki guru dan murid sama sama mumpuni, sementara di sekolah tempat gue mengajar dimana ekonomi para orangtua murid berasal dari kalangan menengah ke bawah, agak sulit untuk memaksimalkan pembelajaran dengan metode pjj ini. Tidak adanya kuota dan permasalahan hp yang lemot dan bahkan ada yang ngga punya hp, sering jadi alasan anak-anak ngga bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh ini dengan maksimal.

Tahun ajaran 2021-2022, gue turun kelas ke kelas 5. Kelas 5C. Kali ini pembelajaran sudah mulai tatap muka, walaupun dengan protokol kesehatan yang ketat dan adanya pembagian kelas menjadi 2 supaya anak-anak tidak berdempetan, tapi masih lebih mending daripada harus full pjj.

Tahun ajaran 2022-2023, naik lagi jadi wali kelas untuk kelas 6. Kelas 6A. Di tahun ajaran ini pembelajaran sudah full tatap muka 100%, kegiatan belajar mengajar mulai kembali seperti sebelum covid melanda.

So yeah thats it sekilas perjalanan gue sebagai wali kelas. Kalau dipikir pikir aneh juga kalau gue ditempatkan menjadi wali kelas untuk kelas tinggi, langsung kelas 6 pula, padahal catatan mengajar gue sebelumnya lebih banyak pegang kelas rendah, untuk mengajar bahasa inggris pun gue megang kelas rendah. Antara anak-anak kelas tinggi (4,5,6) dan kelas rendah (1,2,3) tentu akan ada perbedaan, baik dari segi fisik maupun psikologisnya. Di perkuliahan pun sebagai guru pastinya ada mata kuliah tentang perkembangan peserta didik ini.

Nah, yang ngga ada di mata kuliah selama gue jadi mahasiswa adalah bagaimana cara menghadapi orangtua murid dengan karakter mereka yang lebih-lebih sulit ditebak. Sumpah, tiap tahun tuh kaya ada aja orangtua murid yang kelakuannya bikin geleng-geleng.

Sacrifice

Bulan lalu gue nonton film India berjudul The White Tiger, dan bulan ini gue nonton film Indonesia berjudul Ali & Ratu-Ratu Queens. Kalau dilihat dari alur cerita, tentunya dua film ini berbeda, tapi dua film ini punya sebuah kesamaan.

Kesamaan dua film ini terletak pada tokoh bernama Balram pada film The White Tiger dan Mia pada film Ali & Ratu-Ratu Queens.

Balram dan Mia sama-sama mengorbankan sesuatu untuk mewujudkan mimpi mereka, tidak mudah tentunya, but at the end, they did it, pengorbanan yang mereka lakukan membuahkan hasil, hasilnya manis atau ngga, tergantung sudut pandang penonton, apakah pengorbanan yang mereka lakukan sepadan dengan apa yang mereka korbankan?

Tapi memang bukannya hidup ini penuh dengan pengorbanan ya? I mean, pilihan apapun yang kita pilih, pasti mengorbankan hal lain yang ngga kita pilih.

Kalau lebih pilih belajar daripada tidur, yang kita mengorbankan waktu tidur kita. Ketika kita memilih untuk menikah, kita mengorbankan masa single kita, kehidupan yang lebih simple dibanding kehidupan pernikahan, tapi ketika kita lebih memilih single dibanding menikah, kita mengorbankan kemungkinan punya anak, punya pasangan yang bisa diajak kerjasama, kemungkinan menjalani kehidupan yang lebih seru dibanding hidup seorang diri, eh tapi bisa aja sih hidup seorang diri dan tetep seru-seru aja.

Gue suka bilang ke temen gue “kalo gue pilih opsi itu, gambling banget sih” seolah pilihan lain ngga gambling. Padahal mah, mau pilihan a,b,c, sampai z ngga ada yang bisa mastiin bakal gimana efeknya ke kita, bisa aja kan apa yang kita kira baik ternyata malah membawa kita pada keburukan.

Jadi menurut kamu, pengorbanan yang kamu lakukan selama ini worth it ngga?

Ada yang bilang...

Ada yang bilang kalau ada rezeki, sebelum memberi ke orang lain, berilah dulu keluarga. Tapi nyatanya, ngga semua orang punya keluarga yang layak untuk didahulukan, kadang teman malah lebih sering ada dibanding keluarga.

Ada yang bilang perempuan harus sudah menikah sebelum umur 30. Tapi nyatanya, ada perempuan berumur 30 keatas yang belum menikah tapi enjoy enjoy aja sama hidupnya, ada yang menikah sebelum umur 30 tapi pernikahannya kandas di tengah jalan, well tentunya ngga sedikit juga yang menikah sebelum umur 30 dan bahagia.

Guru les saya waktu SMP pernah bilang "orang kalau sudah pintar matematika, gampang memahami pelajaran lain, pasti sukses itu hidupnya". Nyatanya, ada orang yang ngga pintar matematika tapi tetap bisa sukses.

Ada yang bilang orang jahat akan kena karma. Nyatanya ada orang yang sudah melakukan banyak kejahatan, tapi hidupnya baik-baik saja.

Hidup ternyata penuh dengan ketidakpastian. Banyak yang bilang ini bilang itu, ada yang bicara karena memang peduli, ada yang justru punya maksud tersembunyi. Tapi yang jadi pertanyaan "apa ngga capek hidup dengan berdasarkan perkataan orang lain?"

Another question, "seandainya kita hidup tidak berdasarkan apa kata orang lain, ikuti apa yang kita suka aja, apakah kehidupan akan lebih menyenangkan?"

Donor Darah

Kemarin, salah satu senior gue nanya hal-hal terkait angkatan ekskul gue. Lupa-lupa inget sih, karena kejadiannya udah lebih dari 10 tahun yang lalu, gue yang tadinya akrab banget sama teman seangkatan di ekskul itupun sekarang udah lost contact. Menakjubkan sekali bukan dengan apa yang bisa dilakukan waktu. You didnt do anything, tapi tau-tau beberapa tahun kemudian jadinya udah beda banget sama apa yang terjadi di awal.

Tapi untungnya di blog ini, gue pernah menuliskan kisah-kisah gue ketika di ekskul itu, ngga banyak, tapi cukup, lalu jadi liat-liat postingan lain dan senyum senyum sendiri. Waw, dulu gue pernah begini, waw, dulu gue pernah nulis kaya gini.

So, at this moment, gue akan menuliskan pengalaman gue tentang donor darah.

Donor darah ini satu hal yang mau gue lakuin sejak gue masih duduk di bangku SMA, waktu itu ada kegiatan donor darah di SMA gue, gue mau banget ikut, tapi karena saat itu gue belom berumur 17 tahun, gue pun tidak bisa mendonorkan darah.

Beberapa tahun kemudian ketika sudah gue menginjak umur 17 tahun, di bangku kuliah, ada lagi syarat donor darah yang tidak bisa gue penuhi, yaitu berat badan. Berat badan gue ketika kuliah mentok di 43, sementara ketika itu bb minimal untuk donor darah adalah 45, bahkan sekarang ada juga yang mensyaratkan bb 50 untuk bisa donor darah.

Lulus kuliah lalu kerja. Gue inget banget ketika gue kuliah ada dosen yang bilang "kalian nih nanti kalau udah kerja langsung tuh badannya melebar, kalau jadi guru mah ada aja rezeki."

Saat itu gue ga percaya dong, ah mana mungkin, sekarang aja gue makan mulu, bb segini gini aja.

Tapi ternyata terbukti dong, setelah kerja, bb gue gampang naiknya, dari kuliah cuma mentok di 43, kerja bisa 53 bahkan lebih. Entah harus senang atau miris. Miris karena bb segini bisa membuat dagu gue berlipat, senang karena akhirnya memenuhi syarat untuk bisa donor darah.

Lalu muncul lagi masalah, donor darah ini bukan hal yang disukai banyak orang, temen gue yang donor ketika kita SMA, sehabis donor dia pusing dan muntah-muntah, kakak gue ngga mau diajakin donor karena sehabis donor pertama katanya lemes, intinya, nyari orang yang bisa diajak donor darah tuh susah.

Denger cerita dari temen dan kakak gue di atas tadi, lumayan bikin takut juga sih, takutnya gue abis donor lemes atau bahkan pingsan, makanya gue nyari temen yang dia biasa donor darah, karena kalau sama-sama pertama kali donor darah lalu dia juga sehabis donor ternyata lemes gimana dong? 

Setelah bertanya kesana kemari, melihat lihat kondisi teman, akhirnya ketemu lah sama temen yang biasa donor darah, bahkan udah 10 kali dia donor.

Akhirnya kita berangkat ke PMI Jakarta Timur, acaranya Komunitas Sahabat Donor Darah. Disana kita harus ngisi formulir yang pertanyaannya lumayan banyak, ada pertanyaan lisannya juga, lalu dicek berat badan, kadar hb dan tensi. Apa aja syarat donor darah? Kalau menurut artikel dari tirto.id, kurang lebih begini lah

Percobaan donor darah pertama berhasil dong, setelah donor ngga pusing atau mual, cuma badan rasanya seperti lebih enteng. Habis donor dikasih makanan dan obat penambah darah, dan tidak lupa kartu donor yang warnanya tergantung pada golongan darah. This is me, my happy face after blood donating, dan kartu donor berwarna biru karena golongan darah O dapatnya kartu warna biru.











Segitu dulu ceritanya, pokoknya aku senang bisa donor darah, dan semoga bisa selalu memenuhi syarat sehingga selalu bisa donor sesuai jadwalnya :)

What if

Gue pernah nulis dengan judul ini gasih? Kayanya sih udah, tapi yaudahlah ya. Cuma judul ini yang terpikirkan sekarang.

Hidup itu membingungkan sekali yah, makin lama kita hidup bukannya pertanyaan tentang kehidupan bisa terjawab, tapi malah makin banyak pertanyaan tentang kehidupan.

"Kenapa saya harus nikah sama dia?"

"Kenapa hidup saya bisa seperti ini?"

"Bagaimana kalau dulu saya ngga ambil keputusan ini? Sekarang pasti ngga akan begini"

"Apa jadinya kalau saya dulu ambil kesempatan itu ya?"

"Kenapa jadi perempuan rasanya berat sekali? Saya mau jadi laki-laki aja"

"Kok bisa dia bertahan di hubungan seperti itu?"

"Kenapa sih kita harus ngelakuin semua ini?"

Yang lebih menyebalkan adalah, pertanyaan-pertanyaan itu banyak yang akhirnya tidak terjawab, sehingga kita harus sudah puas dengan jawaban "ya, mau diapain lagi?"

Kalau punya kekuatan super, gue mau punya kekuatan bisa mengendalikan waktu. Gila sih, seru banget pasti, udah kaya main game, kita bisa ngulang-ngulang suatu peristiwa sampai yang kita inginkan tercapai, sampai menang.

Atau kalau memang gabisa, gue mau deh balik ke masa SD, life so simple at that time. Apalagi kalau ingatan yang gue punya sekarang ngga ilang, jadi gue balik ke masa SD dengan ingatan yang gue punya sekarang, semacam cheat dalam hidup. I'm sure I can fix my life, make it better. Soooo much better.

Atau.......

Gue cuma mau jalanin hidup gue dengan damai, tanpa harus ketakutan akan apa yang terjadi besok, tanpa harus dibayang-bayangi masa lalu. 

Kenapa Menua?

Tahun ini umur gue 26, di umur gue yang segitu gue ngerasanya gue gampang banget capek. Cuma ketak ketik hp yang ngga berkaitan dengan kerjaan aja, bisa bikin gue ngantuk, padahal 3 tahun lalu ketika gue umur 23, gue harus ngejalanin 2 kegiatan yang lumayan nguras energi. Berangkat dari rumah sehabis subuh dan bisa pulang kerumah jam 9 malam lebih, belum lagi tugas yang didapat dari 2 kegiatan itu. Tidur lewat jam 12 malam udah kaya rutinitas. Tapi kuat-kuat aja, gue berhasil ngelewatinnya dengan sehat walafiat.

2 tahun kemudian setelah 2 kegiatan yang menguras pikiran dan energi itu, di usia 25 tahun, gue ngerasa badan gue gampang banget lelah. Baru bangun tidur, 2 jam kemudian udah ngantuk lagi, dibawa tidur, bangunnya pusing. Apa yang salah dengan badan ini?

Apakah aku menua? Tapi kalau dibilang menua, ada-ada aja yang udah kepala 4 atau bahkan kepala 5, badan tetap fit sehat bugar. Ya walaupun ada juga yang kepala 3 yang kondisinya tidak begitu fit.

Lalu apa yang menjadikan kita menua dan mengalami fase penuaan yang berbeda?

Gue mau jiwa dan raga gue tetap fit kaya anak SMA, bisa ngga ya?

Wah kalau bisa sih bersyukur sekali. SMA kegiatan gue lebih waw lagi. Belajar, ekskul, les. Ekskulnya juga yang maen fisik banget, belum lagi ada senam bersama dan pelajaran olahraga seminggu sekali, terus juga kudu naek turun tangga untuk ke kelas.

Wait.

Gerak. Itu gasih yang berkurang dari kita seiring bertambahnya usia? Kalau di sekolah (mostly) kan ngga ada lift, jadi ya mau naek turun harus lewat tangga, sedangkan ketika kerja kita banyakan di depan komputer, istirahat mau turun udah ada lift. Ekskul dan les juga ngga ada, ngerasanya badan udah capek karena banyak pikiran di tempat kerja, tapi ternyata fisik kita tuh kurang gerak. 

Iya gasih? wkwk. Sekian dulu dah ah sotoy sotoyannya, emang ada aja gitu yang kepikiran.

Learn it from the hard way

2020 tahun paling nano-nano buat gue. Sebagian keinginan gue tercapai di tahun ini, tapi di sisi lain, ada hal buruk yang harus gue hadapi. Hal yang ngga pernah gue sangka-sangka, ngebayanginnya pun enggan.

The happy part? gue bisa ngerasain kerja yang ngga harus ketemu orang langsung, gue punya pacar di tahun ini (ini gatau sih bakal happy ending atau ngga), ngerasain penghasilan tambahan pertama kali di tahun ini, dan ngga harus dandan berlebih ke kondangan, karena ketutupan masker (ini yang paling bikin seneng sih)

Bagian sedihnya? Harus keliling-keliling rumah sakit untuk sebuah kamar rawat untuk nyokap, nyokap kena corona, harus ngurusin tetek bengek rumah sakit sendirin, pandangan dan perlakuan orang-orang setelah tau nyokap kena corona, rencana-rencana yang harus gagal karena kejadian ini.

Dan barusan kepikiran, apa ini jawaban atas doa gue "dekatkan dengan yang baik dan jauhkan dari yang jahat". Jadi tau yang mana yang peduli sama kita, yang mana yang malah keliatan busuknya. Bahkan saudara yang selalu kita bantu aja ternyata ngga ada batang hidungnya disaat ada musibah kaya gini.

Gue udah lama tidak membuat resolusi disaat pergantian tahun, tapi tahun 2021 ini tolonglah biarkan gue napas lega dulu tanpa kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan. 2019 dan 2020 udah cukup bikin gue pusing, udahlah plis 2021, be nice to me.

Tapi siapalah saya, hanya manusia biasa, yang ngga tau 1 detik kemudian akan terjadi apa.