Manusia Serba Bisa

Pernah nonton Yes Man? Film keluaran tahun 2008, pemeran utamanya Jim Carrey. Bukan termasuk film favorit gue sih, tapi harus gue akui film ini sangat menghibur dan membekas di ingatan, karena ada beberapa film yang gue ngga inget, kaya samar-samar gitu, "ya gue tau nih filmnya, tapi apa ya judulnya?"

Tapi yes man ini ngga, ceritanya juga unik, pemeran utama yang awalnya orang yang pesimis sampe orang sekelilingnya kesel, lalu ikut sebuah seminar dimana dalam seminar itu dia melakukan sebuah perjanjian, dan perjanjiannya itu mengubah hidupnya.

In real life, kita pasti ketemu dua jenis orang ini, yah, ngga se ekstrim di film itu sih, dimana dia harus bilang "iya" sama apapun. Tapi ya, di kehidupan nyata ada aja orang yang kelihatan serba bisa. I admire this kind of person, rasanya kalau sekelompok atau ada urusan sama dia tuh ada aja jalan keluarnya, orang kaya gini kalau ada tugas kelompok gabakal dapet kelompok ampas, you know, kelompok sisaan yang anggotanya anak-anak yang kelompok lain gamau nerima, kelompok lain udah penuh sementara mereka belum dapat kelompok, jadilah mereka sekelompok, dipersatukan oleh takdir. 

Manusia serba bisa ngga akan ngalamin itu, karena ketika guru bilang "ini tugasnya dikerjakan berkelompok ya", teman-teman nya pasti langsung ngelirik dia, berlomba-lomba untuk bisa sekelompok sama si manusia serba bisa.

Kebalikan dari manusia serba bisa, ada si manusia serba gabisa. Kalau manusia serba bisa selalu dapat melihat jalan keluar dari suatu masalah, manusia serba gabisa justru selalu melihat kesulitan dari segala hal, kaya ada aja gitu alasan untuk ngga melakukan sesuatu, bahkan dari hal-hal mudah kaya cuci piringnya dia sendiri sehabis makan, nemu aja alasan supaya dia ngga ngelakuin itu.

If you ask me, what kind of person I am? Sejujurnya semakin tua, semakin gue ngerasa kecewa sama diri gue, kalau di film yes man si pemeran utama mengalami perubahan dari si pesimis ke si optimis, kalau gue malah kayanya berubah dari manusia serba bisa ke manusia serba gabisa.

Gue pernah mengalami diperebutkan dalam pembentukan kelompok, ada teman yang biasanya ngga deket tiba-tiba ngedeketin karena mau sesuatu dari gue, tapi makin kesini gue ngerasa diri gue berubah dan perubahannya bukan perubahan yang baik, dari gue dapet kelompok ampas pas sekolah, lalu gue yang nemu aja sisi negatif dari suatu hal. And you know what? Its tiring, melelahkan sekali, selalu merasa ketakutan, khawatir akan hal-hal yang belum tentu kejadian.

Tapi karakter seseorang itu kan ngga begitu saja muncul tiba-tiba, pasti ada variabel-variabel yang menyebabkan seseorang mempunyai karakter tertentu, entah itu dari keluarga atau lingkungan sehingga akhirnya membentuk karakter orang ini. The question is,can someone change without those variabel, bisa ngga ya seseorang itu berubah tanpa ada pihak ketiga yang mendorong dia untuk berubah? berubah hanya karena dirinya sendiri yang ingin melakukan perubahan.

So, tell me, can I?

Jangan ngomongin keburukan orang

We have to admit kalau ngga semua kejadian di masa kecil bisa kita ingat dengan baik, beberapa diingat dengan baik, beberapa ingat tapi samar-samar, beberapa lagi lupa.

Beberapa kejadian masa kecil yang masih gue ingat diantaranya waktu nyokap bawa gue piknik sama teman kerjanya, bus berhenti di suatu tempat (toko souvenir atau pom bensin), gue sama nyokap masih di bus, gue kira semua orang udah turun, tinggal kita berdua. Saat itu gue bilang ke nyokap tentang anaknya temen nyokap yang seumuran sama gue tapi belum bisa baca, ngga berapa lama, dari belakang bus jalan temen nyokap gue a.k.a orang yang anaknya gue omongin.

Jadi ternyata dia belum turun dari bus, tiduran di belakang makanya ngga kelihatan kepalanya, dia sih cuma jalan aja ke pintu keluar ga bilang apa-apa, gue gatau dia denger apa ngga, tapi kejadian itu cukup menghantui gue.

Kejadian berikutnya ketika kakak gue kedatangan temannya, gue masih sd kelas 1 atau kelas 2 gitu gue lupa, yang jelas jarang banget emang kakak gue bawa teman kerumah. Gue senang, karena menurut gue saat itu temen kakak gue ini baik, mau aja ngeladenin gue, sampe gue denger si temen ini bisik-bisik ke kakak gue "adek lu kok bandel banget sih" yang dijawab kakak gue "ya maklum lah namanya anak-anak"

It broke my heart, kirain teman kakak gue ini seneng-seneng aja gitu, ternyata ngga. Pada saat itu rasanya sedih aja gitu.

Dari dua kejadian itu, emang bisa dilihat kalau ngga ada bagusnya ngomongin keburukan orang. Kenapa?

1. Menyakiti perasaan mereka

Ya itu kan kalo mereka tau. The question is, apakah ketika lu ngomongin keburukan orang lu yakin orang yg lu ajak ngobrol ngga bakal bocor ke orang yg lu omongin? Can you imagine how their feelings when they know about it?

2. Membuat jelek image yang sudah dibangun

Few days ago, gue hampir banget ngomongin kejelekan seseorang, I thought the person wasn't there, tapi gajadi karena gue tiba-tiba mager ngomong. wkwk.

Yaudah gue lanjutin kegiatan dengan ngecek hp, dan ngga berapa lama, ternyata orang yang tadinya pengen gue omongin  tau-tau muncul doooong. Jadi kan emang ruangan ini dibagi dua sama lemari, dibatesin lemari gitu, nah gue lagi duduk di sisi kiri, dan si orang ini ternyata di sisi kanan doooong, gue kira dia keluar. Kebayang gasih kalo tadi gue jadi ngomongin dia? Gileeee, kemageranku menyelamatkanku.

3. Dosa

Yeah, what else? Gue sih yakin semua agama mengajarkan kebaikan dan ngomongin keburukan orang tidak termasuk dalam kategori kebaikan.

So thats it, another reminder for me, for us.
"Saya tuh paling gamau kalo ada orang nanya saya, terus saya bilangnya gatau atau gabisa, kesannya kok saya bodoh banget gitu"

Beberapa minggu lalu teman kerja gue ngomong begitu, gue lupa sih kita pada saat itu lagi bahas apa, tapi gue inget banget dia ngomong itu, it explain lot of things, kaya...

"si itu mah gimana ngga keteteran, orang kalo dikasih tugas dia gapernah sharing-sharing atau nanya pendapat, nanti mah dia ngeluh sendiri karena dikasih tugas banyak, padahal kan dia bisa minta bantuan kita biar tugasnya dibagi bagi"

"ah kerjasama sama dia mah gaenak Han, orangnya suka seenaknya aja, terlalu kreatif, orang lagi ngerjain apa, dia mah gamau gabung, eh tau-tau yang dia kerjain salah"

Dua kalimat diatas adalah perkataan teman kerja gue yang lain, pendapat mereka tentang si temen kerja gue yang ngomong kalimat paling pertama tadi, yang gamau bilang gatau atau gabisa.

I've told you it explain lot of things, dia gamau minta bantuan karena dia gamau bilang gabisa, akhirnya keteteran sendiri, dia suka seenaknya bersikap karena dia mau dianggap pinter, menurut dia apa yang dia lakuin itu yang paling baik, jadi ya dia berinisiatif sendiri, dia butuh pengakuan dari orang-orang disekitarnya kalau dia bisa, kalau dia yang terbaik, gaada yang sama kaya dia.

Kebalikannya dari si gamau bilang gatau atau gabisa ini, waktu kuliah, gue punya dosen, profesor, kuliah S1 dan S2 dua kali, jurusan yang berbeda, jurnal dan bukunya dimana-mana. Dosen ini kalau ngajar sering mengeluarkan kata-kata "eh itu tentang kebijakan ini gimana sih penerapannya dilapangan?, bapak kan ngga berkecimpung langsung disitu, jadi gatau kalo di lapangan kerjanya gimana, coba dong kalian jelasin ke bapak"

Lalu kita mahasiswanya pun menjelaskan terkait peraturan yang dibilang bapak dosen tadi, dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain, saling menambahkan, diskusi berlangsung aktif.

Beberapa waktu kemudian gue pun tau kalo si bapak dosen itu ternyata turut andil dalam tercetusnya kebijakan yang dia bilang dia gatau di kelas, dia menulis beberapa jurnal juga tentang kebijakan itu, dan dia juga terjun langsung ke lapangan.

And I was like "wow, padahal pas dia bilang gatau, gue sempat percaya dan beranggapan masa dosen, profesor pula, gatau sih masalah ini"

Tapi kemudian gue menemukan jawabannya, bapak dosen ini berpura-pura gatau karena dia ingin kelas aktif, dia ingin tau sudut pandang mahasiswanya atau sejauh mana sih pengetahuan mahasiswa gue tentang kebijakan ini.

Kebayang ngga kalo di awal beliau bilang "saya turut andil loh dalam kebijakan tersebut", mahasiswa pasti takut untuk mengeluarkan pendapat, mikirnya "duh kalo jawaban gue salah gimana? si bapak pasti ngerti banget lah tentang kebijakan itu"

Akhirnya mahasiswa takut untuk mengemukakan pendapatnya, ruang diskusi tidak terbuka lebar, bapak dosen jadi gatau sejauh mana pengatahuan mahasiswanya, atau pendapat mahasiswanya terkait kebijakan yang dia turut andil di dalamnya, jadinya gabisa melakukan evaluasi deh tentang kebijakan tersebut.

Dari dua kasus itu, ada 2 jenis manusia si pintar yang tau segalanya, dan si bodoh yang gatau apa-apa. 

Ya, sebagai guru memang rasanya terlalu sempit untuk mengklasifikasi, untuk membedakan manusia dengan hanya 2 kategori tersebut, si pintar dan si bodoh, tapi sekali lagi, kita hanya berbicara dari 2 kasus itu.

Dan dari dua kasus itu kebayang kan kalau kita lebih memilih untuk jadi si pintar yang tau segalanya "gue bisa semuanya, gaada yang gue gatau, gue ga butuh kerjasama lu". Dengan bersikap kaya gitu, pastinya orang jadi takut dan malah untuk berkomentar, jadinya malah menutup informasi yang sebenernya bisa kita dapat, yang bisa nambah pengetahuan kita.

Sementara si bodoh yang gatau apa-apa, bisa lebih tau banyak informasi, karena dia terbuka dengan pendapat lain, tidak merasa dirinya paling pintar, "I dont know and I wanna know, can you tell me?"
mungkin kalimat itu yang jadi kalimat andalan, bersikap seolah kita gatau apa-apa, bahwa orang lain lebih tau dari dia, dan orang pasti seneng kan dibilang pintar, dibilang lebih tau, akhirnya, pengetahuan dia bertambah karena dapat informasi baru.

Tapi ya karena ini hidup, rasanya gabisa untuk menempatkan satu teori kedalam semua aspek kehidupan. Ada kalanya kita jadi si bodoh yang gatau informasi apa-apa, ada kalanya juga kita jadi si pintar supaya ngga terlalu direndahkan sama orang.